Tentang Seni Murni
Seni Murni
Seni Murni meliputi keindahan luar dan
dalam bagi orang yang merasakannya.
Seni murni sangat sulit dipahami oleh orang yang tidak mengikut sertakan
jiwanya didalam melihat ataupun memandang karya ini.
Ketika sebuah lukisan dipertontonkan pada sebuah
pameran banyak orang berdecak kagum karena melihat batapa indahnya lukisan itu.
Tetapi mungkin hanya sedikit yang merasakan rasa haru didalam bathinnya dimana
sesuatu telah menyentuh dasar alam jiwanya dan membuat getaran yang begitu kuat
sehingga membuat dirinya bukan hanya sekedar mengaguni keindahan lukisannya
tetapi dia telah lebih merasakan getaran keindahan dari jiwanya dan rasa haru
yang dalam adalah sebuah bentuk expresi yang begitu dalam dari jiwanya.
Sebagian orang telah membuat beberapa pernyataan bahwa Seni Murni adalah hak
mutlak seseorang untuk mengolah apa yang muncul secara naluriah dialam jiwanya
dan mengekspresikannya sesuai dengan kehendaknya. Bahkan tidak ada sebuah
kekuatanpun yang mampu menghalangi disaat orang ini akan berbuat sesuatu
didalam proses perealisasiannya. Tetapi sebagian orang lagi beranggapan seni
murni harus diolah dengan kedalaman berpikir yang dapat diolah dengan beberapa
keahlian khusus yang dapat diajarkan pada seseorang agar dia dapat
mengekspresikannya dengan lebih baik dan lebih dapat diterima oleh orang yang
tidak mengerti makna yang terkandung didalamnya.
Sebagian lagi berpendapat bahwa sebuah karya seni murni harus dijadikan ciri
dari kepribadian sipembuatnya bahkan kalau bisa dijadikan semacam pola dasar dari
setiap karya yang akan dihasilkan kemudian. Pendapat ini banyak yang menentang
karena lebih banyak yang beranggapan bahwa seni murni adalah lebih kepada
kemurnian ekspresi dari bagian terdalam jiwa manusia sehingga tidak mungkin
diberikan batasan batasan yang harus selalu diikuti disaat dia akan
mengekspresikan keinginan imajinatifnya.
Kekuatan dari sebuah karya seni murni adalah olahan rasa yang disertai dengan
kekuatan bathin yang begitu kuat didalam pembentukan nilai nilai keindahan pada
sebuah karyanya sehingga secara perlahan akan merasuk kedalam jiwa orang lain
yang melihat ataupun memperhatikannya dan inilah yang disebut SENI MURNI.
Ketika seseorang berkata bahwa dirinya adalah seniman yang ahli didalam
pengolahan rasa yang akan diekspresikan pada sebuah karya seni murni, maka hal
pertama yang harus dia periksa adalah HATI nya, karena dari sinilah akar dari
SENI MURNI, bukan dari tarikan tangannya saja. Mungkin dia sangat mampu
menggoreskan sesuatu pada sebuah bidang lukis, tetapi apabila disana tidak
terdapat kedalaman rasa yang muncul dari dalam hatinya maka apapun yang dia
hasilkan akan terasa kosong, tidak ada getaran2 halus yang menyelusup kedalam
orang yang melihatnya.
Jadi sebenarnya setiap orang akan sangat mampu membuat sebuah karya seni murni
tanpa harus mengikuti program pendidikan formal dan setiap orang dapat dengan
bebas membuat sebuah karya seni murni selama dia menginginkannya, tetapi
kedalaman rasa dan kedalaman jiwa dari karyanya belum tentu dapat membuat
karyanya menjadi sebuah benda yang mampu menghidupkan makna yang terkandung
didalamnya, dan ini artinya seseorang yang telah mampu membuat karya seni murni
baru dapat dikatakan berhasil apabila karya yang dihasilkannya menjadi hidup
dan dapat dirasakan getaran kehidupannya oleh orang lain.
ABAS ALIBASYAH (Lahir/born 1928)
Abas
Alibasyah pada tahu 1960-an termasuk pelukis yang telah melakukan pembaharuan
dengan melakukan abstraksi pada lukisannya. Perspektif terhadap objek yang
demikian didorong oleh perubahan sosiokultural yang mulai menggejala di
Indonesia. Moderinasasi merupakan jiwa zaman yang menjadi mitos baru pada akhir
1960 sampai awal 1970, tak terkecuali dalam habitat seni rupa Yogyakarta yang
pada saat itu masih sangat dominan dengan berbagai bentuk paradigma estetik
kerakyatan. Respons terhadap modernisasi dalam seni rupa, selain mendorong
perubahan bentuk ke arah peringkasan, konseptualisasi, dan abstraksi, juga
menunjukkan proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai ke Indonesian dari
berbagai penetrasi kebudayaan Barat. Abas melakukan kedua hal itu, Abas
menyerap spirit modernisasi itu dengan menerapkan pola dasar geometrik dalam
mengabstraksi objek-objek. Di samping itu, ia terus berusaha menggali
perbendaharaan visual tradisi dalam objek-objek lukisannya.
Dalam lukisan berjudul “Garuda” 1969 ini, penerapan pola dasar
geometrik untuk mengabstraksi bentuk burung garuda sangat dominan. Menjadi unik
karena deformasi bentuk garuda telah sedemikian jauh, sehingga yang lebih
penting adalah ekspresi berbagi unsur visual yang ada. Warna merah dengan
gradasi kea rah violet dan oranye memberi kekuatan sebagai latar belakang yang
ekspresif. Bentuk burung muncul lewat konstruksi serpihan bidang dengan warna
kuning dan hijau, diikat dengan tekstur dan goresan kasar yang mencitrakan
nafas primitif. Lukisan ini juga seperti karya-karya Abas dalam periode itu,
yang dipengaruhi oleh sumber-sumber visual dari berbagai patung etnis
Nusantara. Sikap estetis Abas tersebut, merupakan perwujudan yang kongkrit
dalam proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai indegeneous dalam terpaan gelombang
budaya Barat yang terbungkus dalam euphoria modernisme masa itu.
Garuda / The Eagle (1969)
Lukisan
Achmad Sadali, “Gunungan Emas”, 1980 ini merupakan salah satu ungkapan
yang mewakili pencapaian nilai religiusitasnya. Sebagai pelukis abstrak murni
Sadali memang telah lepas dari representasi bentuk-bentuk alam. Namun demikian,
dalam bahasa visual semua bentuk yang dihadirkan seniman dapat dibaca dengan berbagai
tingkatan penafsiran. Dalam usian peradaban yang ada, manusia telah terbangun
bawah sadarnya oleh tanda-tanda yang secara universal bisa membangkitkan spirit
tertentu. Warna-warna berat, noktah dan lubang, serta guratan-guratan pada bidang
bisa mengingatkan pada citra misteri, arhaik, dan kefanaan. Tanda segi tiga,
konstruksi piramida memberikan citra tentang religisitas. Lebih jauh lagi
lelehan emas dan guratan-guratan kaligrafi Al Qur’an dapat memancarkan
spiritualitas islami. Semua tanda-tanda tersebut hadir dalam lukisan-lukisan
Sadali, sehingga ekspresi yang muncul adalah kristalisasi perenungan
nilai-nilai religius, misteri dan kefanaan.
Pembacaan
tekstual ikonografis itu, telah sampai pada interprestasi imaji dan pemaknaan
bentuk. Namun demikian karena Sadali selalu menghindar dengan konsep eksplisit
dalam mendeskripsikan proses kreatifnya, maka untuk menggali makna simbolis
karya-karyanya perlu dirujuk pandangan hidupnya. Sebagai pelukis dengan
penghayatan muslim yang kuat, menurut pengakuannya renungan kreatifitas dalam
melukis sejalan dengan penghayatannya pada surat Ali Imron, 190 – 191 dalam Al
Qur’an. Ia disadarkan bahwa sebenarnya manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu
kemampuan berzikir, berfikir, dan beriman untuk menuju “manusia ideal dan
paripurna” (Ulul-albab). Menurut Sadali daerah seni adalah daerah zikir.
Makin canggih kemampuan zikir manusia, makin peka mata batinnya. Dalam lukisan
“Gunungan Emas” ini dapat dilihat bagaimana Sadali melakukan zikir,
mencurahkan kepekaan mata batinnya dengan elemen-elemen visual.
Gunungan Emas / The Golden Mountain (1980)
AFFANDI ( 1907 - 1990)
Lukisan Affandi yang menampilkan sosok pengemis ini merupakan manifestasi
pencapaian gaya pribadinya yang kuat. Lewat ekpresionisme, ia luluh dengan
objek-objeknya bersama dengan empati yang tumbuh lewat proses pengamatan dan
pendalaman. Setelah empati itu menjadi energi yang masak, maka terjadilah
proses penuangan dalam lukisan seperti luapan gunung menuntaskan gejolak
lavanya. Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis lukisanya memunculkan energi
yang meluap juga merekam penghayatan keharuan dunia bathinnya. Dalam lukisan
ini terlihat sesosok tubuh renta pengemis yang duduk menunggu pemberian
santunan dari orang yang lewat. Penggambaran tubuh renta lewat sulur-sulur
garis yang mengalir, menekankan ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat
hitam yang membangun sosok tubuh, serta aksentuasi warna-warna kuning kehijauan
sebagai latar belakang, semakin mempertajam suasana muram yang terbangun dalam
ekspresi keseluruhan.
Namun
dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat dibaca lewat
goresan-goresan yang menggambarkan gerak sebagian figur lain. Dalam konfigurasi
objek-objek ini, komposisi yang dinamis. Dinamika itu juga diperkaya dengan
goresan spontan dan efek-efek tekstural yang kasar dari plototan tube cat yang
menghasilkan kekuatan ekspresi.
Pilihan
sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari empatinya
pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang mudah terharu,
sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas.Objek-objek rongsok dan jelata
selalu menggugah empatinya. Oleh karenanya, ia sering disebut sebagai seorang
humanis dalam karya seninya. Dalam berbagai pernyataan dan lukisannya, ia
sering menggungkapkan bahwa matahari, tangan dan kaki merupakan simbol
kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan
menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki
merupakan ungkapan simbolik dari motivasi untuk terus melangkah maju dalam
menjalani kehidupan. Simbol-simbol itu memang merupakan kristalisasi pengalaman
dan sikap hidup Affandi, maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan
panjang. Lewat sosok pengemis dalam lukisan ini, kristalisasi pengalaman hidup
yang keras dan empati terhadap penderitaan itu dapat terbaca.
Pengemis / The Begger (1974)
0 comments:
Post a Comment