Friday, March 29, 2013

Tentang Seni Murni


Seni Murni


Seni Murni meliputi keindahan luar dan dalam bagi orang yang merasakannya.
Seni murni sangat sulit dipahami oleh orang yang tidak mengikut sertakan jiwanya didalam melihat ataupun memandang karya ini.

Ketika sebuah lukisan dipertontonkan pada sebuah pameran banyak orang berdecak kagum karena melihat batapa indahnya lukisan itu. Tetapi mungkin hanya sedikit yang merasakan rasa haru didalam bathinnya dimana sesuatu telah menyentuh dasar alam jiwanya dan membuat getaran yang begitu kuat sehingga membuat dirinya bukan hanya sekedar mengaguni keindahan lukisannya tetapi dia telah lebih merasakan getaran keindahan dari jiwanya dan rasa haru yang dalam adalah sebuah bentuk expresi yang begitu dalam dari jiwanya.
Sebagian orang telah membuat beberapa pernyataan bahwa Seni Murni adalah hak mutlak seseorang untuk mengolah apa yang muncul secara naluriah dialam jiwanya dan mengekspresikannya sesuai dengan kehendaknya. Bahkan tidak ada sebuah kekuatanpun yang mampu menghalangi disaat orang ini akan berbuat sesuatu didalam proses perealisasiannya. Tetapi sebagian orang lagi beranggapan seni murni harus diolah dengan kedalaman berpikir yang dapat diolah dengan beberapa keahlian khusus yang dapat diajarkan pada seseorang agar dia dapat mengekspresikannya dengan lebih baik dan lebih dapat diterima oleh orang yang tidak mengerti makna yang terkandung didalamnya.
Sebagian lagi berpendapat bahwa sebuah karya seni murni harus dijadikan ciri dari kepribadian sipembuatnya bahkan kalau bisa dijadikan semacam pola dasar dari setiap karya yang akan dihasilkan kemudian. Pendapat ini banyak yang menentang karena lebih banyak yang beranggapan bahwa seni murni adalah lebih kepada kemurnian ekspresi dari bagian terdalam jiwa manusia sehingga tidak mungkin diberikan batasan batasan yang harus selalu diikuti disaat dia akan mengekspresikan keinginan imajinatifnya.
Kekuatan dari sebuah karya seni murni adalah olahan rasa yang disertai dengan kekuatan bathin yang begitu kuat didalam pembentukan nilai nilai keindahan pada sebuah karyanya sehingga secara perlahan akan merasuk kedalam jiwa orang lain yang melihat ataupun memperhatikannya dan inilah yang disebut SENI MURNI.
Ketika seseorang berkata bahwa dirinya adalah seniman yang ahli didalam pengolahan rasa yang akan diekspresikan pada sebuah karya seni murni, maka hal pertama yang harus dia periksa adalah HATI nya, karena dari sinilah akar dari SENI MURNI, bukan dari tarikan tangannya saja. Mungkin dia sangat mampu menggoreskan sesuatu pada sebuah bidang lukis, tetapi apabila disana tidak terdapat kedalaman rasa yang muncul dari dalam hatinya maka apapun yang dia hasilkan akan terasa kosong, tidak ada getaran2 halus yang menyelusup kedalam orang yang melihatnya.
Jadi sebenarnya setiap orang akan sangat mampu membuat sebuah karya seni murni tanpa harus mengikuti program pendidikan formal dan setiap orang dapat dengan bebas membuat sebuah karya seni murni selama dia menginginkannya, tetapi kedalaman rasa dan kedalaman jiwa dari karyanya belum tentu dapat membuat karyanya menjadi sebuah benda yang mampu menghidupkan makna yang terkandung didalamnya, dan ini artinya seseorang yang telah mampu membuat karya seni murni baru dapat dikatakan berhasil apabila karya yang dihasilkannya menjadi hidup dan dapat dirasakan getaran kehidupannya oleh orang lain.
  

ABAS ALIBASYAH (Lahir/born 1928)
              
  Abas Alibasyah pada tahu 1960-an termasuk pelukis yang telah melakukan pembaharuan dengan melakukan abstraksi pada lukisannya. Perspektif terhadap objek yang demikian didorong oleh perubahan sosiokultural yang mulai menggejala di Indonesia. Moderinasasi merupakan jiwa zaman yang menjadi mitos baru pada akhir 1960 sampai awal 1970, tak terkecuali dalam habitat seni rupa Yogyakarta yang pada saat itu masih sangat dominan dengan berbagai bentuk paradigma estetik kerakyatan. Respons terhadap modernisasi dalam seni rupa, selain mendorong perubahan bentuk ke arah peringkasan, konseptualisasi, dan abstraksi, juga menunjukkan proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai ke Indonesian dari berbagai penetrasi kebudayaan Barat. Abas melakukan kedua hal itu, Abas menyerap spirit modernisasi itu dengan menerapkan pola dasar geometrik dalam mengabstraksi objek-objek. Di samping itu, ia terus berusaha menggali perbendaharaan visual tradisi dalam objek-objek lukisannya.
Dalam lukisan berjudul “Garuda” 1969 ini, penerapan pola dasar geometrik untuk mengabstraksi bentuk burung garuda sangat dominan. Menjadi unik karena deformasi bentuk garuda telah sedemikian jauh, sehingga yang lebih penting adalah ekspresi berbagi unsur visual yang ada. Warna merah dengan gradasi kea rah violet dan oranye memberi kekuatan sebagai latar belakang yang ekspresif. Bentuk burung muncul lewat konstruksi serpihan bidang dengan warna kuning dan hijau, diikat dengan tekstur dan goresan kasar yang mencitrakan nafas primitif. Lukisan ini juga seperti karya-karya Abas dalam periode itu, yang dipengaruhi oleh sumber-sumber visual dari berbagai patung etnis Nusantara. Sikap estetis Abas tersebut, merupakan perwujudan yang kongkrit dalam proses pergulatan mempertahankan nilai-nilai indegeneous dalam terpaan gelombang budaya Barat yang terbungkus dalam euphoria modernisme masa itu.
Garuda / The Eagle (1969)

ACHMAD SADALI ( 1924 - 1987 )

Lukisan Achmad Sadali, “Gunungan Emas”, 1980 ini merupakan salah satu ungkapan yang mewakili pencapaian nilai religiusitasnya. Sebagai pelukis abstrak murni Sadali memang telah lepas dari representasi bentuk-bentuk alam. Namun demikian, dalam bahasa visual semua bentuk yang dihadirkan seniman dapat dibaca dengan berbagai tingkatan penafsiran. Dalam usian peradaban yang ada, manusia telah terbangun bawah sadarnya oleh tanda-tanda yang secara universal bisa membangkitkan spirit tertentu. Warna-warna berat, noktah dan    lubang, serta guratan-guratan pada bidang bisa mengingatkan pada citra misteri, arhaik, dan kefanaan. Tanda segi tiga, konstruksi piramida memberikan citra tentang religisitas. Lebih jauh lagi lelehan emas dan guratan-guratan kaligrafi Al Qur’an dapat memancarkan spiritualitas islami. Semua tanda-tanda tersebut hadir dalam lukisan-lukisan Sadali, sehingga ekspresi yang muncul adalah kristalisasi perenungan nilai-nilai religius, misteri dan kefanaan.  
Pembacaan tekstual ikonografis itu, telah sampai pada interprestasi imaji dan pemaknaan bentuk. Namun demikian karena Sadali selalu menghindar dengan konsep eksplisit dalam mendeskripsikan proses kreatifnya, maka untuk menggali makna simbolis karya-karyanya perlu dirujuk pandangan hidupnya. Sebagai pelukis dengan penghayatan muslim yang kuat, menurut pengakuannya renungan kreatifitas dalam melukis sejalan dengan penghayatannya pada surat Ali Imron, 190 – 191 dalam Al Qur’an. Ia disadarkan bahwa sebenarnya manusia dianugerahi tiga potensi, yaitu kemampuan berzikir, berfikir, dan beriman untuk menuju “manusia ideal dan paripurna” (Ulul-albab). Menurut Sadali daerah seni adalah daerah zikir. Makin canggih kemampuan zikir manusia, makin peka mata batinnya. Dalam lukisan “Gunungan Emas” ini dapat dilihat bagaimana Sadali melakukan zikir, mencurahkan kepekaan mata batinnya dengan elemen-elemen visual.
Gunungan Emas / The Golden Mountain (1980)

AFFANDI ( 1907 - 1990)

Lukisan Affandi yang menampilkan sosok pengemis ini merupakan manifestasi pencapaian gaya pribadinya yang kuat. Lewat ekpresionisme, ia luluh dengan objek-objeknya bersama dengan empati yang tumbuh lewat proses pengamatan dan pendalaman. Setelah empati itu menjadi energi yang masak, maka terjadilah proses penuangan dalam lukisan seperti luapan gunung menuntaskan gejolak lavanya. Dalam setiap ekspresi, selain garis-garis lukisanya memunculkan energi yang meluap juga merekam penghayatan keharuan dunia bathinnya. Dalam lukisan ini terlihat sesosok tubuh renta pengemis yang duduk menunggu pemberian santunan dari orang yang lewat. Penggambaran tubuh renta lewat sulur-sulur garis yang mengalir, menekankan ekspresi penderitaan pengemis itu. Warna coklat hitam yang membangun sosok tubuh, serta aksentuasi warna-warna kuning kehijauan sebagai latar belakang, semakin mempertajam suasana muram yang terbangun dalam ekspresi keseluruhan.  
Namun dibalik kemuraman itu, vitalitas hidup yang kuat tetap dapat dibaca lewat goresan-goresan yang menggambarkan gerak sebagian figur lain. Dalam konfigurasi objek-objek ini, komposisi yang dinamis. Dinamika itu juga diperkaya dengan goresan spontan dan efek-efek tekstural yang kasar dari plototan tube cat yang menghasilkan kekuatan ekspresi.
Pilihan sosok pengemis sebagai objek-objek dalam lukisan tidak lepas dari empatinya pada kehidupan masyarakat bawah. Affandi adalah penghayat yang mudah terharu, sekaligus petualang hidup yang penuh vitalitas.Objek-objek rongsok dan jelata selalu menggugah empatinya. Oleh karenanya, ia sering disebut sebagai seorang humanis dalam karya seninya. Dalam berbagai pernyataan dan lukisannya, ia sering menggungkapkan bahwa matahari, tangan dan kaki merupakan simbol kehidupannya. Matahari merupakan manifestasi dari semangat hidup. Tangan menunjukkan sikap yang keras dalam berkarya dan merealisir segala idenya. Kaki merupakan ungkapan simbolik dari motivasi untuk terus melangkah maju dalam menjalani kehidupan. Simbol-simbol itu memang merupakan kristalisasi pengalaman dan sikap hidup Affandi, maupun proses perjalanan keseniannya yang keras dan panjang. Lewat sosok pengemis dalam lukisan ini, kristalisasi pengalaman hidup yang keras dan empati terhadap penderitaan itu dapat terbaca.
Pengemis / The Begger (1974)

0 comments:

Post a Comment